Senin, 17 November 2014

KETIKA HUJAN MENYAPA

Bismillaahirrahmaanirrahiim
      Tetesan air langit itu membasahi bumi yang menghampar. Telah nampak kuasa-Nya menurunkan rizki kepada penduduk di bumi. Tanaman yang begitu merindukan hujan, laksana seorang ibu yang menantikan kedatangan buah hatinya, ikan di laut berenang dengan lincahnya memainkan atraksi dengan siripnya, begitupula manusia yang merupakan insan yang diciptakan sempurna oleh sang khalik, Allah Subhanahuwata'ala pun juga merindukan hujan untuk keberlangsungan kehidupannya. Seluruh penduduk bumi hendaknya mensyukuri rahmat yang menimbulkan "multiple effect" ini.
      Hujan terjadi karena peristiwa penguapan oleh matahari. Air sungai, air laut, bergerak ke atas menjadi butiran-butiran kristal air, kemudian tertampung menjadi awan-awan, dan setelah mencapai kapasitas maksimal ia akan turun ke bumi berbentuk rintik-rintik hujan. Peristiwa hujan melibatkan begitu banyak ciptaan Allah seperti matahari, angin, awan, air hujan, air laut, dan masih banyak lagi. Ciptaan-ciptaan Allah tersebut adalah untuk kemaslahatan manusia. Hujan merupakan bukti kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berpikir dan menjadi pembelajaran yang penting untuk kita.
       Ketika hujan menyapa, itulah salah satu waktu yang berharga. Dimana ketika hujan diturunkan, maka segala do'a yang kita panjatkan In Syaa Allah akan diijabah oleh Allah. Janganlah kita sia-siakan hujan karena inilah waktu yang baik untuk kita lebih mendekat kepada-Nya. Allah tempat kita meminta, menyampaikan segala gundah dihati. Allah lah pemilik segalanya, penentu segalanya, tak ada kekuatan yang lebih dahsyat selain kekuatan milik-Nya. Semuanya berada digenggaman-Nya.
     Manusia adalah makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Peristiwa hujan menjadi sebuah "sarana" kita untuk mengenal Rabb yang agung. Melalui hujan, Allah hendak menyampaikan pesan pada manusia betapa Allah sangat mencintai manusia. Hujan akan menyuburkan tanah yang gersang dan tandus menjadi tanah yang penuh dengan kesuburan. Bisa kita bayangkan, andaikan Allah tidak menurunkan hujan bagaimanakah kehidupan kita akan berlangsung? Tentunya kelaparan akan merajalela karena krisis pangan yang disebabkan tak adanya pengairan. Tak hanya kelaparan, kejahatan pun akan merajalela karena "urusan perut" tak terselesaikan.
    Segala yang Allah turunkan tidak ada yang sia-sia, termasuk hujan sekalipun. Hujan dalam intensitas normal (cukup) maka akan menyuburkan tanah. Tetapi jika hujan dalam intensitas abnormal (sering) maka akan menimbulkan banjir. Keduanya sama-sama bernilai baik jika kita mau berkhusnudzon (berbaik sangka) kepada Allah. Saat hujan dalam intensitas normal, maka akan menyuburkan tanah, menjadikan pohon-pohon berbuah lebat. Buah tersebut adalah rizki yang diberikan Allah kepada manusia, maka kita haruslah bersyukur. Saat hujan dalam intensitas sering, maka akan menimbulkan bencana banjir. Harta benda kita akan lenyap terbawa arus banjir itu, maka kita hendaknya bersabar dan berintropeksi diri, apakah bencana yang diturunkan Allah adalah akibat kelalaian manusia untuk menjaga bumi, sehingga Allah menegur kita agar kembali ke jalan yang benar. Semua perkara adalah baik bagi setiap muslim.
     
     

Jumat, 14 November 2014

AGENT OF CHANGE IN FAMILY

Oleh : Ika Devi Silviana
     Keluarga adalah tempat dimana kita mencurahkan segala isi hati tentunya setelah Allah Subhanahuwata'ala. Keluarga merupakan nikmat yang Allah berikan kepada kita untuk melengkapi hidup kita di dunia. Didalam keluarga tentunya masing-masing memiliki karakter pembawaan yang berbeda-beda. Ada yang sabar, pendiam, pentaat, pemaaf, acuh tak acuh,  sampai yang paling menyeramkan sekalipun. Semuanya saling melengkapi satu sama lain, nah disinilah peran kita sebagai "penyelamat" yang akan membawa keluarga kita selamat tidak hanya dalam tataran dunia, namun juga akhiratnya.
       Islam memerintahkan umatnya tidak hanya sekedar memiliki iman, tapi kita juga memiliki ilmu. Setiap manusia adalah "agen of change" yang bermanfaat untuk keluarga melalui ilmu yang dimilikinya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa di antara kamu melihat suatu kemungkaran maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnnya iman.” (HR. Muslim). Kaitan iman dan ilmu sangatlah kuat, karena dengan iman maka kita akan berilmu, dan karena dengan berilmu maka kita akan menegakkan keimanan.
       Setiap keluarga tentunya berharap akan sukses dunia dan akhiratnya. Tetapi tidak setiap keluarga membekali harapannya itu kemauan yang kuat untuk bergerak kearah yang lebih baik. Dibutuhkan pola dakwah melalui suri tauladan yang baik didalam keluarga. Misalkan seorang ayah atau ibu yang menginginkan anaknya menjadi anak yang sholeh atau sholehah, tentunya keduanya harus memberikan contoh yang baik terlebih dahulu. Keluarga juga dapat kita ibaratkan seperti sebuah bahtera yang tergantung pada pengemudinya, bagaimana sang pengemudi itu dapat menaklukan ujian angin dan badai agar seluruh isi bahtera dapat berlayar dengan selamat.
      Menjadi agent of change bukan suatu perkara yang instan. Dibutuhkan proses yang cukup panjang untuk menemukan bahwa sebenarnya dirinya merupakan agen perubahan yang akan "menularkan virus-virus" kebaikan. Mari kita lihat kisah nabi Ibrahim Alaihissalaam yang memiliki ayah yang sangat mencintai berhala-berhala tandingan Allah. Nabi Ibrahim selalu mengingatkan ayahnya untuk segera bertaubat dan senantiasa mendo'akan agar hatinya tergerak. Namun ayahnya masih mempertahankan berhala-berhala itu. Kegigihan untuk merubah harus sangat kuat, namun setelah itu kita serahkan hasilnya kepada Allah Subhanahuwata'ala. Jika rasa putus asa dalam dakwah mendera, yakinlah Allah adalah maha yang membolak-balikkah hati manusia yang akan memberikan hidayah kepada manusia untuk mengarah kearah yang lebih baik.
         Ilmu adalah jalan kita menemukan kebenaran. Ilmu yang kita tuntut tidak sekedar ilmu untuk kebahagiaan dunia saja, namun juga ilmu untuk meraih kebahagiaan akhirat karena kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan di alam akhirat.  Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dari ia dibuai oleh ayah dan ibu, sampai saat kita sudah ada di liang lahat. Keterlambatan bukan akhir dari segalanya selama Allah masih memberikan kesempatan untuk kita berubah. Mari bersama-sama mengajak keluarga kita untuk menggapai keselamatan hidup didunia dan diakhirat dengan didasari pengharapan meraih ridho Allah Subhanahuwata'ala. Wallahua'lam..
     
       

Minggu, 02 November 2014

AIB DAN GHIBAH

Oleh : Ika Devi Silviana
      Pergaulan merupakan suatu hal yang tidak dapat kita elakkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan berbagai sifatnya. Disinilah letak kita untuk lebih cerdas mengelola hubungan itu. Terkadang disebuah perkumpulan secara tidak sengaja kita membicarakan suatu hal yang akan "berbuntut" pada ghibah (menggunjing). Perbuatan menggunjing ini telah diibaratkan Allah seperti kita memakan bangkai saudara kita sendiri. Alangkah menjijikannya.
     Allah mengaruniakan kita sebuah organ mungil dibawah hidung, yaitu mulut. Mulut itu lebih tajam daripada pedang. Organ inilah yang kebanyakan membawa pemiliknya terjerembab di dalam panasnya neraka. Tak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang dilakukan oleh mulut inilah yang sangat melenakan, khususnya bagi kaum hawa. Menahan hawa nafsu adalah salah satu caranya. Memang bukan perkara mudah didalam hawa nafsu, karena kita harus berperang melawan syaitan yang selalu mengintai kita disegala sisi.
      Setiap diri manusia tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan. Kita lebih banyak menilai kekurangan orang, daripada kebaikan yang telah diberikan kepada kita. Itulah kelemahan manusia yang pada akhirnya menjadikan mereka menggunjing kelemahan orang lain. Apakah kita sendiri sadar bahwa kita tentunya memiliki banyak kekurangan. Relakah kita digunjing sebagaimana kita menggunjing orang lain? Tentunya tidak. Allah telah berbaik hati menyembunyikan kekurangan yang ada didalam diri kita dengan memberikan hal yang baik, entah itu dengan wajah yang cantik, tubuh yang tinggi, otak yang cerdas, dan harta yang melimpah.  Lalu mengapa perbuatan ghibah itu masih terasa nikmat, cobalah melakukan intropeksi diri.
     Didalam pergaulan tentunya tidak mudah menjadi seseorang yang idealis mempertahankan ajaran Al-Qur'an dan Hadist. Namun kita harus belajar sedikit demi sedikit. Memang semua itu membutuhkan proses yang sangat panjang, tidak instan. Terkadang kita dianggap "sok" suci, tetapi inilah peran kita untuk mengajak saudara kita untuk melakukan perbuatan yang baik. Relakah kita jika kita memasuki surga sendirian sementara saudara kita terpeleset ke dalam neraka. Jika terasa sulit menahan hawa nafsu untuk berghibah, maka ingatlah Allah telah menutup aib kita didepan orang lain, jika kita tetap berghibah berarti kita belum memiliki rasa malu kepada Allah. Semoga Allah mengaruniai perasaan malu seperti Khalifah Ustman bin Affan Radhiyallahu'anhu. Aamiin..

ANDAI WAKTU MEMANGGIL

Oleh : Ika Devi Silviana
      Allah adalah Rabb tempat kita bergantung melebihi ketergantungan kita pada siapapun. Ia lebih dekat dari urat leher manusia. Itu berarti, jika tidak ada Allah didalam hidup kita, maka kita tidak akan hidup seperti saat ini. Sampai manusia akan diterjang kematian pun seharusnya yang kita ingat adalah Allah. Namun, Allah memegang seluruh kendali didalam hidup kita, termasuk keimanan di dalam hati. Hati dapat berbolak-balik, bisa saja saat ini hidup dalam keimanan namun pada akhirnya kita akan meninggalkan keimanan itu, atau bahkan sebaliknya sekarang kita hidup jauh dari keimanan namun pada akhirnya Allah memberikan khusnul khatimah yang begitu indah.
    Dunia ibarat fatamorgana, dilihat ada, namun jika ditangkap ia akan hilang. Sama seperti kehidupan kita sekarang yang penuh dengan kesenangan yang melenakan, tetapi jika kita telah meninggalkanya ia tidak akan menyertai kita, yang tersisa hanyalah amal-amal kita. Jika selama kita hidup senantiasa berbuat keshalihan, maka amal itu akan datang dengan wujud rupa yang elok. Jika selama kita hidup didominasi dengan perbuatan maksiat, maka ia akan mendatangi kita dengan rupa yang menyeramkan. Kita masih diberikan waktu oleh Allah untuk memperbaiki sebelum semuanya terlambat.
      Kematian akan memberikan efek yang bertolak belakang saat sakaratul maut menjemput. Disaat detik itu datang, kita akan diingatkan dengan masa lalu kita. Tak aneh jika saat menjelang kematian ada yang tersenyum dan bahkan sebaliknya. Kita perlu berdo'a kepada Allah, karena tidak ada satupun manusia yang dapat menjamin kita untuk mendapatkan khusnul khatimah itu. Nafsu jiwa yang membuncah, seringkali menutupi mata hati seperti akan terlupa bahwa nafas akan terhenti. Astaghfirullah..
     Kematian adalah permulaan kita menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Setelah kita meninggal, kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita selama di dunia. Setiap derap langkah, setiap gelak tawa, setiap ucapan, dan bahkan hal terkecil dalam kehidupan kita yaitu bernafas. Kita juga akan menunggu disuatu alam yaitu alam kubur. Di alam kubur ini kita juga akan diberikan "pelayanan" sesuai dengan amal kita. Ibarat sebuah hotel, jika hotel itu mahal maka pelayanannya akan "mahal", begitupula sebaliknya. Ada segala macam pelayanan dialam kubur, dari yang paling "memukau" nikmatnya, sampai pada "WOW" siksanya. Allah menyediakannya semua.
      Alam kubur adalah alam transisi sebelum alam yang sesungguhnya (surga dan neraka). Kita harus "mencicipi" panasnya alam mahsyar, tempat seluruh manusia dikumpulkan menunggu diadili perbuatannya. Ibarat seorang terdakwa pelaku kriminalitas, disana ada hakim agung, yaitu Allah Subhanahuwata'ala, lengkap dengan segala saksi yang entah akan meringankan atau memberatkan timbangan amal baik kita. Tak lupa kita juga akan menerima catatan "rapor" amal kita. Dengan tangan kanankah atau dengan tangan kiri kitakah akan diberikan rapor itu. Luka, sepi, air mata tidak akan berarti lagi. Tiada dusta diri yang tak terhakimi pada saat itu.
    Setelah di alam mahsyar, kita akan meniti jembatan siratalmustaqim. Jembatan itu sangat mengerikan, karena dibawah jembatan itu telah membentang neraka yang membuat tubuh kita meleleh karena panas yang begitu dahsyat. Meniti jembatan ini juga tergantung dengan amal perbuatan kita di dunia. Jika kita melakukan amal kebajikan, maka Allah akan memberikan "pelita"nya untuk menuntun jalan kita dengan lancar sampai ke surganya yang baunya sangat harum. Tetapi jika amal baik kita ringan, maka bersiap-siaplah untuk terjerembab dalam panasnya neraka.
      Rasa cita kita kepada Allah akan menjadi penolong bagi kita untuk melewati semua itu. Cinta kepada Allah menjadikan kita mudah disegala hal. Akan terasa indah jika segala hal yang kita lakukan itu didasari cinta kepada sang khalik. Tidak ada yang namanya "cinta bertepuk sebelah tangan". Allah akan mencintai hamba-hamba-Nya yang juga mencintainya. Dengan demikian kita tidak akan pernah merasa amal yang kita lakukan sia-sia dan tidak dihargai. Allah selalu menilai segala amal manusia, termasuk hal sangat kecil sekalipun seperti senyuman yang tulus kepada sesama.