Kamis, 19 Januari 2017

Cerdas yang Kandas


Bismillaahirrahmaanirrahiim..

Menghadirkan niat itu sangat sukar. Ini dibuktikan karena tidak semua orang cerdas, yang memiliki wawasan ilmu agama, bahkan tidak semua murid-murid para ulama, memiliki niat yang ikhlas. Salah satu contoh adalah Mu’tazilah. Apa kata para ulama’ tentang Mu’tazilah?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengatakan, Mu’tazilah, mereka diberi kecerdasan oleh Allah, tapi mereka tidak diberi kesucian hati, keikhlasan hati. Siapa yang tidak tahu kecerdasan Washil bin Atho’? Ia adalah seorang yang cerdas, murid dari Hasan Al-Bashri. Tapi ia tergelincir. Mengapa tergelincir? Ia tidak ikhlas.. ujub, sombong dengan kecerdasan yang mereka miliki (semoga menjadi nasihat untuk kita juga).

Kalau berbicara tentang kecerdasan, Washil bin Atho’ adalah seorang yang cerdas. Cerdas luar biasa..
Salah satu kisah yang mengisahkan tentang kecerdasannya, Washil bin Atho’ adalah seorang yang cadel. Berarti ia tidak bisa mengucapkan huruf Ra. Suatu ketika ada sebuah event yang membuat manusia berkumpul. Lalu dalam event tersebut, teman-teman Washil bin Atho’ ingin mempermalukan dirinya, ingin menjadikannya bahan tertawaan, bahan olok-olok. Ia didaulat secara spontanitas untuk berkhutbah pada event tersebut. Tanpa persiapan, tanpa oret-oretan, tanpa referensi. Agar apa? Agar manusia tahu kekurangan Washil bin Atho’, agar manusia tahu bahwa ia tidak bisa mengucapkan huruf Ra, dan mereka akan menertawakan Washil bin Atho’.

Coba anda bayangkan, anda shalat Jum’at, duduk di shaf pertama untuk mengerjakan shalat Jum’at, kira-kira jam 12.05 khatib  tidak datang. Karena anda yang duduk di shaf pertama, maka anda didaulat oleh semua jam’ah bahwa anda yang harus jadi khatib. Kira-kira bagaimana perasaan anda? Tidak ada persiapan, tidak ada contekan, tidak ada referensi, spontanitas. Itu mungkin mimbar bergetar, semua hafalan hilang, ketika kita berbicara terbata-bata, kira-kira itulah perasaan Washil bin Atho’.

Tapi mau tidak mau, karena ditunjuk oleh seluruh orang yang berada di sekitar itu, akhirnya dia berkhutbah, berpidato, dengan pidato yang akan dikenang oleh para ulama sampai detik ini, karena itu adalah salah satu pidato paling mengagumkan di dunia. Pidato itu tidak ada satupun huruf Ra! Seluruh huruf Ra yang akan dia ucapkan ia ganti dengan sinonim yang tidak menggunakan huruf Ra nya! Oleh karena itu, pidato tersebut, dari A-Z tidak ada satupun huruf Ra. Bisakah kita berpidato tidak dengan huruf R (Ra)? Washil bin Atho’ bisa membuat pidato seperti itu dengan tidak ada persiapan apapun, secara spontanitas. Semua kata dalam bahasa arab yang ada huruf Ra nya, ia ganti dengan spontan dengan sinonimnya yang tidak ada huruf Ra.

Ia menjadi buah bibir pada saat itu. Coba bayangkan, misalkan anda diberi waktu dua minggu, tolong buatkan khutbah tanpa menggunakan huruf R bisa tidak? Baru pembukaannya mungkin kita sudah gagal. “Bismillaahirrahmaanirrahiim..” dengan rahmat (R), karunia (R), susah untuk membuat pidato tanpa huruf R. Tapi Washil bin Atho' bisa membuatnya, tanpa ada persiapan. Cerdasnya luar biasa. Itulah Washil bin Atho’, namun tersesat. Ia cerdas namun tidak memiliki keikhlasan hati. Inti dari menuntut ilmu bukan kecerdasan, namun keikhlasan.

Al-Jahil, kurang semangat apa ia belajar, kurang kutu buku apa ia belajar?. Jahil, merupakan salah satu tokoh Mu’tazilah. Ia memiliki hobi yang unik. Mungkin, belum ada yang memiliki hobi seperti ia sampai detik ini. Ia senang menyewa toko buku, tidak boleh ada yang masuk ke dalamnya selain ia. Selama itu ia membaca seluruh buku yang ada. Mungkin kalo di Indonesia ia akan menyewa toko buku Gramedia untuk "melahap" seluruh buku-bukunya untuk dibaca. Berasa kecil ya kawan, ga ada apa-apanya. Ia membutuhkan privasi.

Mengapa ia meninggal dunia? Ia meninggal dunia karena kejatuhan buku. Di kamarnya buku ber rak-rak, bertingkat-tingkat. Kita tahu, buku zaman dahulu lebih berat dibanding dengan buku sekarang. Kemudian ia sakit keras, ia mengambil sebuah buku, namun buku terjatuh, dan menimpanya semuanya, dan akhirnya ia meninggal dunia. Jahil, tersesat Mu’tazilah. Mereka cerdas, namun tidak diberi kesucian hati.. nasihat lagi ya.. :( 

Ibnu Abi Hamza berharap, ada seorang ulama yang mendedikasikan waktunya untuk mendirikan majlis ilmu, dan setiap mengisi kajian, ia isi dengan tema ikhlas. Ibaratnya, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at sampai Minggu tentang ikhlas! Karena inilah bahaya umat Islam, kita butuh materi keikhlasan. Jangankan kita, Imam besar Daruquthni, imam besar ilmu hadits, bagaimana ia awal thalabul ilmi, tidak ikhlas, awal kita terpaksa, diajak teman, tidak enak dengan panitianya, kebetulan mampir disebuah masjid, lagi bentrok dirumah lalu mencari perenungan, lalu kajian. Tidak ikhlas dalam menuntut ilmu agama. Namun ilmu itu dikaji dan dikaji, dan akhirnya mengantarkan ia pada keikhlasan untuk Allah. Itu Imam besar Daruquthni. Sehingga ulama tidak ada yang meng klaim bahwa dirinya ikhlas.

Imam Ahmad bin Hambal, penulis kitab Musnad, berjilid-jilid beliau bisa tuliskan dalam kitab tersebut. Orang yang sudah pernah disiksa, karena membela sebuah ideologi tentang Al-Qur’an. Beliau merupakan salah satu murid terbaik Imam Syafi’i, “Engkau lebih tahu hadits dibanding saya,” Allahu Akbar, Imam Syafi’i mengatakan demikian kepada Imam Ahmad..

Suatu ketika Imam Ahmad pernah ditanya oleh Imam Syafi’i, “Wahai Imam Ahmad, engkau melakukan ini, engkau melakukan itu, engkau mengajar disini, engkau mengajar disina ikhlas atau tidak?

Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada kita, apakah jawabannya? “Tadi kita datang kajian ikhlas tidak?”

Waah ikhlas dong, lihat penampilan saya, lihat jenggot saya, masa’ ga ikhlas?” apakah itu yang akan kita katakan?

Imam Ahmad mengatakan, “Adapun ikhlas itu adalah perkara yang sangat berat, adapun saya hanya berusaha sekuat tenaga.” Allahu Akbar.. mereka tidak berani meng klaim dirinya ikhlas. Imam Ahmad bin Hambal..

Sekarang, kata-kata ikhlas sangat murah, semua meng klaim ikhlas, bahkan maksiat pun meng klaim ikhlas, misal perkara suap-menyuap, “Ini ikhlas ga nih?”; “Oh, ikhlas Pak, Ikhlas..” suap itu dalam keadaan kepepet, terdesak, tidak ada jalan lain..

Imam Sushi (semoga benar ejaannya) pernah mengatakan, barangsiapa meng klaim ibadahnya ikhlas, maka rasanya ikhlas itu perlu direvisi kembali. Mereka tidak gila pujian. Para ulama kita tidak gila gelar. Semoga Allah selalu membantu, Aamiin..

Semoga bermanfaat..

(Sumber: Kajian Ust.Nuzul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar