Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Menghadirkan niat itu sangat
sukar. Ini dibuktikan karena tidak semua orang cerdas, yang memiliki wawasan
ilmu agama, bahkan tidak semua murid-murid para ulama, memiliki niat yang
ikhlas. Salah satu contoh adalah Mu’tazilah. Apa kata para ulama’ tentang Mu’tazilah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
pernah mengatakan, Mu’tazilah, mereka diberi kecerdasan oleh Allah, tapi mereka
tidak diberi kesucian hati, keikhlasan hati. Siapa yang tidak tahu kecerdasan
Washil bin Atho’? Ia adalah seorang yang cerdas, murid dari Hasan Al-Bashri.
Tapi ia tergelincir. Mengapa tergelincir? Ia tidak ikhlas.. ujub, sombong
dengan kecerdasan yang mereka miliki (semoga menjadi nasihat untuk kita juga).
Kalau berbicara tentang
kecerdasan, Washil bin Atho’ adalah seorang yang cerdas. Cerdas luar biasa..
Salah satu kisah yang mengisahkan
tentang kecerdasannya, Washil bin Atho’ adalah seorang yang cadel. Berarti ia
tidak bisa mengucapkan huruf Ra. Suatu ketika ada sebuah event yang membuat manusia
berkumpul. Lalu dalam event tersebut, teman-teman Washil bin Atho’ ingin
mempermalukan dirinya, ingin menjadikannya bahan tertawaan, bahan olok-olok. Ia
didaulat secara spontanitas untuk berkhutbah pada event tersebut. Tanpa
persiapan, tanpa oret-oretan, tanpa
referensi. Agar apa? Agar manusia tahu kekurangan Washil bin Atho’, agar
manusia tahu bahwa ia tidak bisa mengucapkan huruf Ra, dan mereka akan
menertawakan Washil bin Atho’.
Coba anda bayangkan, anda shalat
Jum’at, duduk di shaf pertama untuk mengerjakan shalat Jum’at, kira-kira jam
12.05 khatib tidak datang. Karena anda
yang duduk di shaf pertama, maka anda didaulat oleh semua jam’ah bahwa anda yang harus
jadi khatib. Kira-kira bagaimana perasaan anda? Tidak ada persiapan, tidak ada
contekan, tidak ada referensi, spontanitas. Itu mungkin mimbar bergetar, semua
hafalan hilang, ketika kita berbicara terbata-bata, kira-kira itulah perasaan
Washil bin Atho’.
Tapi mau tidak mau, karena
ditunjuk oleh seluruh orang yang berada di sekitar itu, akhirnya dia
berkhutbah, berpidato, dengan pidato yang akan dikenang oleh para ulama sampai
detik ini, karena itu adalah salah satu pidato paling mengagumkan di dunia. Pidato
itu tidak ada satupun huruf Ra! Seluruh huruf Ra yang akan dia ucapkan ia ganti
dengan sinonim yang tidak menggunakan huruf Ra nya! Oleh karena itu, pidato
tersebut, dari A-Z tidak ada satupun huruf Ra. Bisakah kita berpidato tidak
dengan huruf R (Ra)? Washil bin Atho’ bisa membuat pidato seperti itu dengan
tidak ada persiapan apapun, secara spontanitas. Semua kata dalam bahasa arab
yang ada huruf Ra nya, ia ganti dengan spontan dengan sinonimnya yang tidak ada
huruf Ra.
Ia menjadi buah bibir pada saat
itu. Coba bayangkan, misalkan anda diberi waktu dua minggu, tolong buatkan khutbah
tanpa menggunakan huruf R bisa tidak? Baru pembukaannya mungkin kita sudah gagal.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim..” dengan rahmat (R), karunia (R), susah untuk membuat
pidato tanpa huruf R. Tapi Washil bin Atho' bisa membuatnya, tanpa ada persiapan. Cerdasnya luar
biasa. Itulah Washil bin Atho’, namun tersesat. Ia cerdas namun tidak memiliki
keikhlasan hati. Inti dari menuntut ilmu bukan
kecerdasan, namun keikhlasan.
Al-Jahil, kurang semangat apa ia belajar, kurang kutu buku apa ia belajar?.
Jahil, merupakan salah satu tokoh Mu’tazilah. Ia memiliki hobi yang unik.
Mungkin, belum ada yang memiliki hobi seperti ia sampai detik
ini. Ia senang menyewa toko buku, tidak boleh ada yang masuk ke dalamnya selain
ia. Selama itu ia membaca seluruh buku yang ada. Mungkin kalo di Indonesia ia akan menyewa toko buku Gramedia untuk "melahap" seluruh buku-bukunya untuk dibaca. Berasa kecil ya kawan, ga ada apa-apanya. Ia membutuhkan privasi.
Mengapa ia meninggal dunia? Ia
meninggal dunia karena kejatuhan buku. Di kamarnya buku ber rak-rak, bertingkat-tingkat. Kita tahu,
buku zaman dahulu lebih berat dibanding dengan buku sekarang. Kemudian ia sakit
keras, ia mengambil sebuah buku, namun buku terjatuh, dan menimpanya semuanya,
dan akhirnya ia meninggal dunia. Jahil, tersesat Mu’tazilah. Mereka cerdas,
namun tidak diberi kesucian hati.. nasihat lagi ya.. :(
Ibnu Abi Hamza berharap, ada
seorang ulama yang mendedikasikan waktunya untuk mendirikan majlis ilmu, dan
setiap mengisi kajian, ia isi dengan tema ikhlas. Ibaratnya, Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jum’at sampai Minggu tentang ikhlas! Karena inilah bahaya umat
Islam, kita butuh materi keikhlasan. Jangankan kita, Imam besar Daruquthni,
imam besar ilmu hadits, bagaimana ia awal thalabul ilmi, tidak ikhlas, awal
kita terpaksa, diajak teman, tidak enak dengan panitianya, kebetulan mampir
disebuah masjid, lagi bentrok dirumah lalu mencari perenungan, lalu kajian.
Tidak ikhlas dalam menuntut ilmu agama. Namun ilmu itu dikaji dan dikaji, dan
akhirnya mengantarkan ia pada keikhlasan untuk Allah. Itu Imam besar Daruquthni.
Sehingga ulama tidak ada yang meng klaim
bahwa dirinya ikhlas.
Imam Ahmad bin Hambal, penulis
kitab Musnad, berjilid-jilid beliau bisa tuliskan dalam kitab tersebut. Orang
yang sudah pernah disiksa, karena membela sebuah ideologi tentang Al-Qur’an.
Beliau merupakan salah satu murid terbaik Imam Syafi’i, “Engkau lebih tahu hadits dibanding saya,” Allahu Akbar, Imam Syafi’i
mengatakan demikian kepada Imam Ahmad..
Suatu ketika Imam Ahmad pernah
ditanya oleh Imam Syafi’i, “Wahai Imam
Ahmad, engkau melakukan ini, engkau melakukan itu, engkau mengajar disini,
engkau mengajar disina ikhlas atau tidak?”
Kalau pertanyaan itu diarahkan
kepada kita, apakah jawabannya? “Tadi kita datang kajian ikhlas tidak?”
“Waah ikhlas dong, lihat penampilan saya, lihat jenggot saya, masa’ ga
ikhlas?” apakah itu yang akan kita katakan?
Imam Ahmad mengatakan, “Adapun
ikhlas itu adalah perkara yang sangat berat, adapun saya hanya berusaha sekuat
tenaga.” Allahu Akbar.. mereka tidak berani meng klaim dirinya ikhlas. Imam Ahmad bin Hambal..
Sekarang, kata-kata ikhlas sangat
murah, semua meng klaim ikhlas, bahkan maksiat pun meng klaim ikhlas, misal perkara suap-menyuap, “Ini ikhlas ga nih?”; “Oh,
ikhlas Pak, Ikhlas..” suap itu dalam keadaan kepepet, terdesak, tidak ada
jalan lain..
Imam Sushi (semoga benar
ejaannya) pernah mengatakan, barangsiapa meng klaim ibadahnya ikhlas, maka rasanya ikhlas itu perlu direvisi
kembali. Mereka tidak gila pujian. Para ulama kita tidak gila gelar. Semoga Allah selalu membantu,
Aamiin..
Semoga bermanfaat..
(Sumber: Kajian Ust.Nuzul)